Menurut UU
Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk masalah K3 dilakukan
oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki kompetensi dan
independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh berbagai pihak
dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja.
Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak
menyalah gunakan kewenangannya. Pegawai pengawas ini sangat minim jumlahnya,
pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299
orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural
dan 910 orang tenaga pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya
sangat minim bila dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713
perusahaan yang mencakup 91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia.
Pemerintah menyadari bahwa penerapan masalah K3 di perusahaan-perusahaan tidak
dapat diselesaikan dengan pengawasan saja. Perusahaan-perusahaan perlu
berpatisipasi aktif dalam penanganan masalah K3 dengan menyediakan rencana yang
baik, yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
atau ”SMK3.” SMK3 ini merupakan tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang
dilakukan oleh seluruh tingkat manajemen dalam suatu organisasi dan dalam
pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh pekerja dapat terlatih dan termotivasi
untuk melaksanakan program K3 sekaligus bekerja dengan lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi (termasuk proyek konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di tempat kerja. SMK3 perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu perusahaan secara keseluruhan. SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga inspektor/pengawas untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan aturan mengenai SMK3.Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak satu kali dalam tiga tahun.
Perusahaan- perusahaan
yang memenuhi kewajibannya akan diberikan sertifikat tanda bukti. Tetapi peraturan
ini kurang jelas dalam mendifinisikan sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang
tidak memenuhi kewajibannya. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai masalah K3, yaitu salah
satunya dengan memberikan apresiasi kepada para pengusaha yang menerapkan
prinsip-prinsip K3 dalam operasional perusahaan yang berupa penghargaan
tertulis serta diumumkan di media-media massa, seperti yang dilakukan oleh
Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen Tenaga
Kerja bekerja sama dengan Majalah Warta Ekonomi dan PT Dupont Indonesia.
Jaminan Sosial Tenaga
Kerja Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No.
3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial
tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang
dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan
meninggal dunia. Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993
mengenai penyelenggaraan jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas
lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-05/MEN/1993, yang
menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek), sebagai sebuah badan
(satu-satunya) penyelenggaraan jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara
asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu badan yang mencatat
kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek konstruksi melalui
pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek penyelenggaraan
program jamsostek diatur secara khusus untuk para tenaga kerja harian lepas,
borongan,Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek
Konstruksi di Indonesia dan perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa
konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian besar berstatus
harian lepas dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka. Para
pengguna jasa wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis
program jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila
mereka bekerja lebih dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta
dalam dua program tambahan lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan
pemeliharaan kesehatan. Khusus mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui
Keppres No.22/1993. Dalam Keppres ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui
untuk mungkin timbul karena hubungan kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita
salah satu penyakit ini berhak mendapat jaminan kecelakaan kerja baik pada saat
masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir (sampai
maksimal 3 tahun). Pada umumnya, penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai
akibat terkena bahan kimia yang beracun yang berasal dari material konstruksi
yang apabila terkena dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan penyakit
yang serius. Penyakit yang mungkin timbul juga termasuk kelainan pendengaran
akibat kebisingan kegiatan konstruksi, serta kelainan otot, tulang dan
persendian yang sering terjadi pada pekerja konstruksi yang terlibat dalam
proses pengangkutan material berbobot dan berulang, dan penggunaan peralatan
konstruksi yang kurang ergonomis.
Dengan demikian,
perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jamsostek secara legal dapat dikatakan
memadai. Namun, besarnya pembayaran jaminan tersebut sering kali tidak memadai.
Sebagai contoh, biaya-biaya transportasi dan perawatan di rumah sakit akibat
kecelakaan kerja yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingginya kenaikan harga
yang terjadi pada saat ini.
No comments:
Post a Comment