Tuesday 16 September 2014

Pembetonan atau Concrete Lining Terowongan

Setelah galian terowongan selesai digali dan telah diberi penyangga maka tahap berikutnya adalah pekerjaan pembetonan yang meliputi tahapan:  
  • Pembesian, sebelum pemasangan from work, penulangan besi beton dipasang lebih dahulu. Bila pengecoran bertahap, penulangan dapat dilakukan secara bertahap juga dengan cara pemasangan besi starter
  • Pemasangan Bekisting
  • Pengecoran Beton 
  • Bila terowongan melalui solid work, atau steel support cukup kuat untuk menjaga stabilitas bentuk terowongan sampai dengan seluruh penggalian selesai, maka lebih baik pengecoran lining terowongan menunggu setelah seluruh galian selesai. Bila sebaliknya, maka lining terowongan harus secepatnya dilaksanakan overlapping dengan penggalian. Pengecoran lining terowongan dapat dilakukan secara sekaligus atau secara bertahap, tergantung bermacam-macam faktor.  
 
Gambar : Penulangan Lining

Dalam pelaksanaan pekerjaan ini tunnel dibagi dalam keadaan dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah atau disebut juga dengan top heading and bench. Pembetonan dimulai pada bagian atas dan selanjutnya bagian bawah. Menggunakan traveler untuk pembetonan bagian atas, sedangkan untuk pembetonan bagian bawah menggunakan alat-alat tackle untuk mengangkat, menyetel, dan membongkar bekisting setelah dicor.

Setelah lining dilakukan tahap akhir yang dilakukan adalah pekerjaan pemasangan monitoring jangka panjang dimana tujuan pemasangan sistem monitoring ini adalah untuk memantau deformasi pada lubang terowongan setelah dipasang penyangga permanen secara jangka panjang, serta memantau kondisi airtanah di sekitar terowongan.

Sumber:

Finite Element Method

Metode Elemen Hingga (Finite Element Method) adalah salah satu metode numerik untuk menyelesaikan berbagai problem rekayasa, seperti mekanika struktur, mekanika tanah, mekanika batuan, mekanika fluida, hidrodinamik, aerodinamik, medan magnet, perpindahan panas, dinamika struktur, mekanika nuklir, aeronautika, akustik, mekanika kedokteran dan sebagainya. (Katili, Irwan. 2008).

Kontinum dibagi-bagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, maka elemen kecil ini disebut elemen hingga. Proses pembagian kontinum menjadi elemen hingga disebut proses “diskretisasi” (pembagian). Dinamakan elemen hingga karena ukuran elemen kecil ini berhingga (bukannya kecil tak berhingga) dan umumnya mempunyai bentuk geometri yang lebih sederhana dibanding dengan kontinumnya.

Dengan metode elemen hingga kita dapat mengubah suatu masalah dengan jumlah derajat kebebasan tertentu sehingga proses pemecahannya akan lebih sederhana. Misalnya suatu batang panjang yang bentuk fisiknya tidak lurus, dipotong-potong sependek mungkin sehingga terbentuk batang-batang pendek yang relatif lurus. Maka pada bentang yang panjang tadi disebut kontinum dan batang yang pendek disebut elemen hingga.

Suatu bidang yang luas dengan dimensi yang tidak teratur, dipotong-potong berbentuk segi tiga atau bentuk segi empat yang beraturan. Bidang yang dengan dimensi tidak beraturan tadi disebut kontinum, bidang segitiga atau segi empat beraturan disebut elemen hingga. Dan banyak lagi persoalan yang identik dengan hal diatas. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa elemen hingga merupakan elemen diskrit dari suatu kontinum yang mana perilaku strukturnya masih dapat mewakili perilaku struktur kontinumnya secara keseluruhan.

Tujuan utama analisis dengan menggunakan metode elemen hingga adalah untuk memperoleh pendekatan tegangan dan peralihan (displacement) yang terjadi pada suatu struktur (Indrakto, Rifky. 2007).

Konsep dasar metode elemen hingga adalah apabila suatu sistem dikenai gaya luar, maka gaya luar tersebut diserap oleh sistem tersebut dan akan menimbulkan gaya dalam dan perpindahan. Untuk mengetahui besarnya gaya dalam dan perpindahan akibat gaya luar tersebut, perlu dibentuk suatu persamaan yang mewakili sistem tersebut. Dalam metode elemen hingga keseluruhan sistem dibagi kedalam elemen elemen dengan jumlah tertentu. Selanjutnya dibentuk persamaan :



Proses pembentukan persamaan diatas harus memenuhi kondisi berikut : 
  1. Kesetimbangan, yaitu kesetimbangan gaya gaya yang bekerja pada setiap elemen dan keseluruhan material.
  2. Kompatibilitas, berkaitan dengan geometri dari material yaitu hubungan perpindahan dengan dan regangan. 
  3. Persamaan konstitutif dari material, mengenai hubungan tegangan regangan yang merupakan kareakteristik dari material.
Kondisi batas dan kondisi awal gaya-gaya dan perpindahan secara khusus harus memenuhi kondisi kesetimbangan dan kondisi kompatibilitas. Hubungan ketiga kondisi diatas tergambar dalam bagan berikut:

 
 



Sumber : 
Junaida Wally, Pemodelan Terowongan Pada Batuan Dengan Metode Finite Element: 2014

Joint (Didang Diskontinu)

Pada batuan terdapat bidang diskontinu, kekar adalah struktur rekahan dalam blok batuan dimana tidak ada atau sedikit sekali mengalami pergeseran (hanya retak saja),umumnya terisi oleh sedimen setelah beberapa lama terjadinya rekahan tersebut. Rekahan atau struktur kekar dapat terjadi pada batuan beku dan batuan sedimen.

Dari semua jenis bidang diskontinu yang ada, joint adalah yang paling sering menjadi pertimbangan. Hal ini disebabkan joint merupakan bidang diskontinu yang telah pecah dan terbuka, sehingga bidang joint merupakan bidang yang lemah. Selain itu joint sering bahkan hampir selalu ada pada suatu massa batuan. Oleh sebab itu, dalam pertimbangan geoteknik, seringkali joint lebih menjadi perhatian dibandingkan jenis bidang diskontinu lainnya. 

Pada batuan beku,kekar terjadi karena pembekuan magma dengan sangat cepat (secara mendadak).

Pada batuan sedimen, kekar terjadi karena:

a. Intrusi/ekstrusi.

b. Pengaruh iklim atau musim. 

Adanya bidang diskontinu pada batuan akan mempengaruhi banyak hal yang berhubungan dengan penggalian terowongan. Diantaranya adalah pengaruh terhadap kekuatan dari batuan. Semakin banyak bidang diskontinu yang memotong massa batuan, semakin kecil pula kekuatan dan batuan tersebut. Bidang-bidang diskontinu yang ada pada massa batuan inilah yang memiliki potensi untuk menyebabkan terjadinya failure pada batuan yang diekskavasi.

Untuk menentukan efek joint pada konstruksi terowongan, Bieniawski (1974) mengelompokan massa batuan menjadi lima kelompok untuk mengetahui metode yang cocok digunakan untuk pelaksanaan. Material batuan dengan banyak joint dapat digali dengan menggunakan ripper.

Bidang permukaan joint yang lebar sering dijumpai dalam pelaksanaan terowongan. Jika arahnya sejajar atau hampir sejajar dengan as terowongan maka dapat menimbulkan masalah besar dalam pelaksanaannya.

Berikut adalah gambar salah satu jenis joint:

 
 Gambar : Srinkage Joint


Sumber: 
Junaida Wally : Pemodelan Terowongan Pada Batuan Dengan Metode Finite Element, 2014.